Selain sebagai figur sentral, keberadaan ulama bagi kita juga dijadikan sebagai rujukan dan panutan. Sebagai Warasatul Ambiaya’, maka kita tidak hanya perlu mengikuti fatwa dan uswatun hasanahnya, tetapi juga perlu kita ketahui kepribadiannya. Untuk dapat kita jadikan landasan dan pijakan untuk kita ikuti ahlaqul karimahnya. Selain dikenal dengan sebutan Kota Kretek, Kudus juga dikenal sebagai Kota Religius atau lebih medasar lagi dikenal dengan sebutan Kota Santri. Pasalnya, banyak di antara santri yang menuntut ilmu di kota yang kharismatik yang menjadi panutan masyarakat sekitar Kudus. Di antara sekian banyak ulama di kota Kudus banyak ulama di kota Kudus yang menjadi tauladan bagi masyarakat adalah beliau Almarhum wal Maghfurlah KH. Arwani Amin.
Keluarga Pencinta Al-Qur’an
Sekitar lebih 100 meter di sebelah selatan Masjid Menara Kudus, tepatnya di Desa Madureksan, Kerjasan, dulu tersebutlah pasangan keluarga shaleh yang sangat mencintai al-Qur’an. Pasangan keluarga ini adalah KH. Amin Sa’id dan Hj. Wanifah. KH. Amin Sa’id ini sangat dikenal di Kudus kulon terutama di kalangan santri, karena beliau memiliki sebuah toko kitab yang cukup dikenal, yaitu toko kitab Al-Amin. Dari hasil berdagang inilah, kehidupan keluarga mereka tercukupi.
Yang menarik adalah, meski keduanya (H. Amin Sa’id dan istrinya) tidak hafal al-Qur’an, namun mereka sangat gemar membaca al-Qur’an. Kegemarannya membaca al-Qur’an ini, hingga dalam seminggu mereka bisa khatam satu kali. Hal yang sangat jarang dilakukan oleh orang kebanyakan, bahkan oleh orang yang hafal al-Qur’an sekalipun.
Kelahiran KH. Arwani Amin
KH. Arwani Amin adalah salah satu ulama yang sangat masyhur dan dihormati di kota Kudus karena kedalaman ilmunya serta sifatnya yang santun dan lemah lembut. Beliau dilahirkan pada Selasa Kliwon, 5 Rajab 1323 H, yang bertepatan dengan tanggal 5 September 1905 M di Desa Madureksan, Kerjasan, Kudus.
Beliau dikenal karena Pondok Huffadh Yanbu’ul Qur’an yang didirikannya, menjadi tujuan para santri yang ingin belajar menghafal al-Qur’an dan belajar Qira’at Sab’ah. Selain itu, beliau juga seorang mursyid (pimpinan) Thoriqah yang mempunyai ribuan jama’ah.
Arwan adalah anak kedua dari 12 bersaudara. Kakaknya yang pertama seorang perempuan bernama Muzainah. Sementara adik-adiknya secara berurutan adalah Farkhan, Sholikhah, H. Abdul Muqsith, Khafidz, Ahmad Da’in, Ahmad Malikh, I’anah, Ni’mah, Muflikhak dan Ulya. Dari kedua belas ini, ada tiga yang paling menonjol, yaitu Arwan, Farkhan dan Ahmad Da’in. ketiga-tiganya hafal al-Qur’an. Arwan kecil hidup di lingkungan yang sangat taat beragama (religius). Kakek dari ayahnya adalah salah satu ulama besar di Kudus, yaitu KH. Imam Kharamain. Sementara garis nasabnya dari ibu, sampai pada pahlawan nasional yang juga ulama besar Pangeran Dipenegoro yang bernama kecil Raden Mas Ontowiryo.
Masa Menuntut Ilmu
KH. Arwani Amin dan adik-adiknya sejak kecil hanya mengenyam pendidikan di madrasah dan pondok pesantren. Arwani kecil memulai pendidikannya di Madrasah Mu’awanatul Muslimin, Kenepan, sebelah utara Menara Kudus. Beliau masuk di madrasah ini sewaktu berumur 7 tahun. Madrasah ini merupakan madrasah tertua yang ada di Kudus yang didirikan oleh Syarikat Islam (SI) pada tahun 1912. Salah satu pimpinan madrasah ini di awal-awal didirikannya adalah KH. Abdullah Sajad.
Setelah sudah semakin beranjak dewasa, akhirnya memutuskan untuk meneruskan ilmu agama Islam ke berbagai pesantren di tanah Jawa, seperti Solo, Jombang, Jogjakarta dan sebagainya. Dari perjalanannya berkelana dari satu pesantren ke pesantren itu, talah mempertemukannya dengan banyak kiai yang akhirnya menjadi gurunya (masyayikh). Adapun sebagian guru yang mendidik KH. Arwani Amin di antaranya adalah KH. Abdullah Sajad (Kudus), KH. Imam Kharamain (Kudus), KH. Ridwan Asnawi (Kudus), KH. Hasyim Asy’ari (Jombang), KH. Muhammad Manshur (Solo), Kiai Munawir (Yogyakarta) dan lain-lain.
Khusnul Khuluq dalam Perilaku
Selama berkelana mencari ilmu baik di Kudus maupun di berbagai pondok pesantren yang disinggahinya, KH. Arwani Amin dikenal sebagai pribadi yang santun dan cerdas karena kecerdasannya dan sopan santunnya yang halus itulah, maka banyak kiainya yang terpikat. Karena itulah pada saat mondok KH. Arwani Amin sering dimintai oleh kiainya membantu mengajar santri-santri lain. Lalu memunculkan rasa sayang di hati para kiainya.
Sekitar tahun 1935, KH. Arwani Amin pun melaksanakan pernikahan dengan salah satu seorang putri Kudus, yang kebetulan cucu dari guru atau kiainya sendiri yaitu KH. Abdullah Sajad. Perempuan sholehah yang disunting oleh beliu adalah ibu Naqiyul Khud. Dari pernikahannya dengan ibu Naqiyul Khud ini, KH. Arwani Amin diberi dua putrid dan dua putra. Putri pertama dan kedua beliau adalah Ummi dan Zukhali (Ulya), namun kedua putri beliau ini menginggal dunia sewaktu masih bayi.
Yang tinggal sampai kini adalah kedua putra beliau yang kelak meneruskan perjuangan KH. Arwani Amin dalam mengelola pondok pesantren yang didirikannya. Kedua putra beliau adalah KH. Ulin Nuha (Gus Ulin) dan KH. Ulil Albab Arwani (Gus Bab). Kelak, dalam menahkodai pesantren itu, mereka dibantu oleh KH. Muhammad Manshur. Salah satu khadam KH. Arwani Amin yang kemudian dijadikan sebagai anak angkatnya.
KH. Arwani Amin meninggalkan sebuah kitab yang diberi nama Faidl al-Barakat fi al-Sabi’a Qira’at. Kitab ini adalah panduan belajar Qira’at Sab’ah. Setelah sekian lama berjuang untuk agama, masyarakat, dan negaranya, akhirnya beliau pun harus kembali menghadap ke haribaan-Nya. Beliau wafat pada 1 Oktober 1994 M. yang bertepatan dengan 25 Rabi’ul Akhir 1415 H. dalam usia 92 tahun. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Beliau dimakamkan di kompleks Pondok Pesantren Yanbu’ul Qur’an.
Berbicara mengenai sosok besar termasuk ulama (kiai), tentu saja kita tidak bisa melihat secara sepintas kesuksesan mereka. Keteladanan justru akan bisa diperoleh dengan mengetahui (lewat membaca) bagaimana perjalanan mereka, hingga bisa menjadi tokoh yang sangat dihormati dan dikagumi. Jika si tokoh itu masih hidup, kita bisa dengan gampang bersilaturrahim dan belajar secara langsung. Persoalannya, bagaimana jika tokoh yang bersangkutan sudah tiada (wafat) ? tentu saja kita akan cuma mendapatkan informasi mengenai tokoh tersebut dari cerita-cerita para orang tua. Lalu, bagaimana jika para orang yang mengetahui cerita-cerita tentang sosok teladan itu habis atau sudah meninggal ?
Maka dari itu, dibutuhkan data tertulis seperti buku (biografi) yang praktis dan sangat mudah dipahami. Mengingat pentingnya sebuah (buku) biografi seorang tokoh besar dalam kaitannya sebagai teladan bagi generasi mendatang. Buku yang diberi judul “Penjaga Wahyu dari Kudus” ini meski secara singkat atau mungkin kurang lengkap menceritakan bagaimana perjalanan KH. Arwani Amin dalam mengarungi hidup hingga akhirnya menjadi sosok ulama besar. Untuk itu harapan penulis, semoga buku kecil yang jauh darii sempurna ini, bisa menjadi bacaan untuk meneladani perjuangan dan sikap hidup (Mbah) KH. Arwani Amin bagi masyarakat secara umum.
Sumber: https://singopadon.wordpress.com/2012/04/27/kh-arwani-amin-kudus-4/#more-450